أَسْمَاءُ الْحُسْنَي

هُوَ اللهُ الَذِى لاَاِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ الْمَالِكُ الْقُدُوْسُ السَّلاَمُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيْزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ الْغَفَّارُ الْقَهَّارُ الْوَهَّابُ الرَّزَّاقُ الْفَتَّاحُ الْعَلِيْمُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الْخَافِضُ الرَّافِعُ الْمُعِزُّ الْمُذِلُّ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ الْحَكَمُ الْعَدْلُ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ الْحَلِيْمُ الْعَظِيْمُ الْغَفُوْرُ الشَّكُوْرُ الْعَلِىُّ الْكَبِيْرُ الْحَفِيْظُ الْمُقِيْتُ الْحَسِيْبُ الْجَلِيْلُ الْكَرِيْمُ الرَّقِيْبُ الْمُجِيْبُ الْوَاسِعُ الْحَكِيْمُ الْوَدُوْدُ الْمَجِيْدُ الْبَاعِثُ الشَّهِيدُ الْحَقُّ الْوَكِيْل الْقَوِىُّ الْمَتِيْنُ الْوَلِىُ الْحَمِيْدُ الْمُحْصِى الْمُبْدِئُ الْمُعِيْدُ الْمُحْيِ الْمُمِيْتُ الْحَيُّ الْقَيُوْمُ الْوَاجِدُ الْمَاجِدُ الْوَاحِدُ الاَحَدُ الصَّمَدُ الْقَادِرُ الْمُقْتَدِرُ الْمُقَدِّمُ الْمُؤَخِّرُ اَلاَوَّلُ الآخِرُ الظَّاهِرُ الْبَاطِنُ الْوَالِيُ الْمُتَعَالِى الْبَرُّ التَّوَّابُ الْمُنْتَقِمُ الْعَفُوُّ الرَّءُوْفُ مَالِكُ الْمُلْكِ ذُوالْجَلاَلِ وَ الْإِكْرامِ الْمُقْسِطُ الْجَامِعُ الْغَنِيُّ الْمُغْنِى الْمَانِعُ الضَّارُ النَّافِعُ النُّوْرُ الْهَادِى الْبَدِيْعُ الْبَاقِى الْوَارِثُ الرَّشِيْدُ الصَّبُوْرُ

Jumat, 27 Juli 2012

Memahami Makna Nuzulul Qur’an

Al-Quran merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman bagi manusia dalam menata kehidupan demi mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat. Konsep-konsep yang dibawa al-Quran selalu relevan dengan problema yang dihadapi manusia, karena itu ia turun untuk mengajak manusia berdialog dengan penafsiran sekaligus memberikan solusi terhadap problema tersebut di manapun mereka berada. Pada kenyataannya, Al-Quran benar-benar telah mengepung level kecil klasik kesusastraan jahiliyah untuk memperkenalkan pemikiran keagamaan dan konsep-konsep monoteistiknya ke dalam Bahasa Arab. Ia juga menciptakan design dahsyat dalam Bahasa Arab dengan mengubah instrument-instrument teknis pengungkapannya. Pada satu sisi, ia menggantikan syair metrik dengan bentuk ritmenya sendiri yang tak tertirukan, dan pada sisi lain memperkenalkan konsep-konsep dan tema-tema baru yang mengarah kepada arus besar monoteisme. Luas dan keberagaman tema Al-Quran merupakan hal yang sangat unik. la menembus sudut pandang paling kabur dalam pikiran manusia, menembus dengan kekuatan nyata jiwa orang beriman bahkan orang yang tanpa iman sekalipun untuk merasakan sesuatu dalam gerak-gerik jiwanya. Al-Quran juga mengalihkan perhatiannya kepada masa lalu yang jauh dalam sejarah perjalanan ummat manusia sekaligus mengarah ke masa depannya dengan tujuan mengajarkan tugas-tugas masa kini. Ia melukiskan gambaran dan tanda-tanda yang mengundang manusia untuk segera menarik pelajaran darinya. Dari pelajaran itu dapat ditarik kesimpulannya, bahwa ternyata jiwa manusia tanpa disadari terseret serta terpesona oleh kedalaman dan keluasan makna Al-Quran. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Quran sebagai mukjizat terbukti menjadi modal kehidupan dunia dan akhirat. Masihkah Al-Quran bersama kita?
Masih adakah Al-Quran selalu bersama kita ; merupakan pernyataan tegas terhadap sikap, prilaku dan kondisi internal keberagamaan ummat Islam di tengah arus modernisasi sebagai suatu proses perkembangan dalam peradaban manusia. Melalui momentum Nuzulul Quran ini, pernyataan “Masihkah Al-Quran bersama kita” menjadi sebuah gugatan terhadap prilaku dan keyakinan yang belum selalu berdampingan dengan Al-Quran bahkan menyatu dengannya. Al-Quran sebagai risalah terakhir yang sempurna dan universal bagi seluruh ummat manusia dengan konsep tanzil- turun, membawa atau menurunkan banyak pesan yang harus direpresentasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya media seruan yang dimunculkan dalam ayat al-Quran, baik yang diseru “Wahai manusia”, “Bani Adam”, “Orang-orang beriman dan kaf ir” ataupun Ahli Kitab. Melalui risalah Muhammad, Allah SWT menurunkan al-Quran saat manusia sedang mengalami kekosongan para rasul, kemunduran akhlak dan kehancuran problem kemanusiaan, sosial politik dan ekonomi. Pada setiap problem itu, al-Quran meletakkan sentuhannya yang mujarrab dengan dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah manusia selanjutnya yang relevan di setiap zaman.
Sejak diturunkannya sampai dengan sekarang al-Quran tidak pernah terlepas dari suatu tradisi yang sedang berjalan. Dengan kata lain, pesan-pesan al-Quran selalu berhubungan dengan pribadi atau masyarakat yang mengganggapnya sakral atau sebagai sentralitas etika universal. Jika melihat kondisi ummat Islam pada saat al-Quran diturunkan, melalui momentum nuzulul Quran ini, semua peristiwa di masa lalu itu dibangkitkan melalui perenungan. Jadi ada kesamaan konteks ketika al-Quran diturunkan pertama kali dengan kondisi terkini yang secara sosial, politik, ekonomi dan agama memang sedang mengalami kebobrokan dan membutuhkan pemecahannya. Untuk itu, ummat Islam sebagai ummat yang terbaik mengemban tugas berat yang berkaitan dengan memahami, mengilhami dan melakukan tanggung jawab. Karena memahami dan menafsirkan adalah bentuk yang paling mendasar dari keberadaan manusia dimuka bumi yang memiliki jabatan sebagai khalifah. Dengan demikian, eksistensi ummat Islam sebagai ummat yang terbaik tidak diragukan. Dengan bantuan ilmu pengetahuan dan agama, peristiwa Nuzulul Quran yang terjadi beberapa abad yang lalu menjadi sesuatu yang berkesinambungan hingga kini. Masa lalu tidaklah usang dan ia menjadi pendahulu masa kini. Maka dari itu, upaya memahami makna nuzulul Quran pada saat sekarang ini sama sekali tidak menghilangkan makna dan konteks terdahulu, melainkan merangkumnya untuk kemudian diteruskan hingga kini. Ada semacam harapan yang harus terpenuhi dalam menghadapi tantangan global saat ini sebagaimana Rasulullah juga menghadapi tantangan dan ujian yang berat. Setelah melihat konteks nuzulul Quran, tugas selanjutnya ialah melakukan kontektualisasi ajaran dan pesan yang terkandung dalam peristiwa nuzulul Quran. Kita harus selalu berdampingan dengan al-Quran dalam setiap pikiran, perkataan dan perbuatan. Persahabatan kita dengan al-Quran baru sebatas pragmatis dan belum menjadi sesuatu yang harmonis sehingga al-Quran belum membuka solusi terhadap problem kehidupan. Jika kecendrungan manusia di zaman globalisasi yang didukung dengan kemajuan teknologi ini cendrung memperlihatkan sisi egoisitas dalam memenuhi kebutuhan materialnya, maka ada baiknya juga menggunaka ego untuk memenuhi kebutuhan spiritual kepada Allah yang sebenarnya menjadi ikatan primordial antara hamba dan Tuhan-Nya (Hablum min Allah wa hablum minan-naas). Karena secara psikologis ego merupakan pusat pencerapan dan kesadaranyang memberi kesempatan dan kemampuan untuk memiliki kesadaran diri sepenuhnya. Dan ego tidak lagi dipahami dengan opini negatif. Kesadaran yang mendasar terhadap perisitiwa Nuzulul Quran memberikan akses kepada esensi al-Quran dengan keanekaragaman dimensi dan nilai holisitiknya. Bersamaan dengan itu keraguan terhadap al-Quran hilang dan digantikan dengan keyakinan yang teguh. Keyakinan yang teguh kepada al-Quran setelah dengan melakukan pencerapan dan penghayatan dapat membuka pintu-pintu hidayahnya sebagai sumber etika dan nilai universal. Al-Quran sebagai Kalamullah secara komprehensif terbukti telah mencerahkan eksistensi kebenaran dan moral manusia. Mukjizat dan wahyu yang menjadi kitab bagi ummat Islam khususnya dan seluruh ummat pada umumnya tidak habis-habisnya menguraikan secara detail subtansi kebenaran. Ayat-ayatnya senantiasa melahirkan interpretasi filosofis yang menggugat infiltrasi pemikiran kebenaran semu bahkan menyesatkan dari para pemikir non wahyu. Al-Quran yang membuka ruang penafsiran secara tipikal menukik pada akal orisinil dan langsung menyentuh aspek mendasar dalam kehidupan, yaitu etika dan moral dalam hubungannya sebagai hamba dengan Sang Khaliq-Allah. Salah satu penyebab utama kekerasan dan konflik yang dialami ummat manusia karena tidak menjadikan al-Quran sebagai sumber nilai etika dan moral. Keadaan ini menurut Harun Yahya seorang Filsuf Islam Kontemporer adalah dengan mengupayakan nilai-nilai moral dan etika dalam al-Quran diberlakukan dalam kehidupan. Allah Swt telah berbicara dalam al-Quran tentang kaidah besar seperti keadilan, perdamaian, kebenaran, Iman dan Islam. Dia juga berbicara tentang muamalah dan pandangan hidup. Problem apapun yang terjadi, krisis apapun yang berlaku, solusi dan penawarannya ada di dalam al-Quran. Dengan semangat baru, Nuzulul quran menjadi momentum efektif jika Al-Quran dijadikan sebagai solusi problem kehidupan yang memberitahukan tuntutan yang harus dilaksanakannya dalam membangkitkan berbagai niiai yang diinginkan dalam penyucian jiwa. Membaca al-Quran sebagai jalan mencari solusi juga menyempurnakan ibadah lainnya. Ia dapat berfungsi dengan baik jika dalam membacanya disertai dengan adab-adab batin dalam perenungan, khusyu’ dan mentadabburinya yang akhirnya banyak mendatangkan manfaat berupa petunjuk dari Allah, inspirasi dan basis imajenasi. Bertadabbur berarti memperhatikan dan merenungi makna-maknanya. Bahkan Ibnu Mas’ud berkata, “Barang siapa yang menghendaki ilmu orang-orang yang terdahulu dan ilmu orang-orang yang akan datang, hendaklah ia mendalami Al-Quran“. Kitab Ummat islam ini memberikan pedoman serta jalan yang lurus yang mampu menghindari buruknya kesesatan. Etika kehidupan dan akhlak kan’mah terangkum dalam Al-Quran. Bahkan, Rasulullah sendiri dibina akhlaknya langsung oleh Al-Quran. Melalui Nuzulul Quran ini, mari bersama membangun Indonesia dengan spririt keimanan dan keislaman. Menjadikan akhlak Rasulullah sebagai basis sumber daya manusia. Akhirnya Nuzulul Quran di masa lalu membawa pesan yang sama di masa kini dan akan selalu menjadi landasan structural yang abadi di masa mendatang. Amin.

Selasa, 24 Juli 2012

Lailatul Qadar

Lailatul Qadar atau Lailat Al-Qadar (bahasa Arab: لَيْلَةِ الْقَدْرِ ) (malam ketetapan) adalah satu malam penting yang terjadi pada bulan Ramadhan, yang dalam Al Qur'an digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Dan juga diperingati sebagai malam diturunkannya Al Qur'an. Deskripsi tentang keistimewaan malam ini dapat dijumpai pada Surat Al Qadar, surat ke-97 dalam Al Qur'an.
Etimologi Menurut Quraish Shihab, kata Qadar (قﺩﺭ) sesuai dengan penggunaannya dalam ayat-ayat Al Qur'an dapat memiliki tiga arti yakni [1]: 1. Penetapan dan pengaturan sehingga Lailat Al-Qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Penggunaan Qadar sebagai ketetapan dapat dijumpai pada surat Ad Dukhan ayat 3-5 : Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu malam, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan yang penah hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami 2. Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran. Penggunaan Qadar yang merujuk pada kemuliaan dapat dijumpai pada surat Al-An'am (6): 91 yang berbicara tentang kaum musyrik: Mereka itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada masyarakat 3. Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Qadr. Penggunaan Qadar untuk melambangkan kesempitan dapat dijumpai pada surat Ar-Ra'd ayat 26: Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya) Keistimewaan Dalam Al Qur'an, tepatnya Surat Al Qadar malam ini dikatakan memiliki nilai lebih baik dari seribu, bulan .97:1 Pada malam ini juga dikisahkan Al Qur'an diturunkan, seperti dikisahkan pada surat Ad Dukhan ayat 3-6. 44:3 Waktu Terdapat pendapat yang mengatakan bahwa terjadinya malam Lailatul Qadar itu pada 10 malam terakhir bulan Ramadan, hal ini berdasarkan hadits dari Aisyah yang mengatakan : " Rasulullah ShallAllahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf di sepuluh hari terkahir bulan Ramadan dan beliau bersabda, yang artinya: "Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Romadhon" " (HR: Bukhari 4/225 dan Muslim 1169)